Saturday, March 13, 2010

Referensi Seputar Budaya, Adat, Sastra, Dunia Islam, dan Pendidikan
• Entries (RSS)
• Comments (RSS)
• Home
Penyebaran Suku Bangsa Banjar
Dibangsulkan oleh Poeboe@84 at Senin, Maret 09, 2009
Penyebaran Suku Bangsa Banjar

Keadaan geomorfologis Nusantara tempo dulu sangat berbeda, di mana telah terjadi pendangkalan lautan menjadi daratan. Misalnya pantai masih dekat dengan kota Palembang, demikian pula daerah Simongan, Semarang masih merupakan pantai, sedangkan kota Kudus masih berada di pulau Muria terpisah dari daratan pulau Jawa. Keadaan Geomorfologis pada masa itu juga mempengaruhi penyebaran suku-suku bangsa di Kalimantan. Pada jaman purba pulau Kalimantan bagian selatan dan tengah merupakan sebuah teluk raksasa. Kalimantan Selatan merupakan sebuah tanjung, sehingga disebut pulau Hujung Tanah dalam Hikayat Banjar dan disebut Tanjung Negara dalam kitab Negarakertagama. Seperti dalam gambaran Kitab Negarakertagama, Sungai Barito dan Sungai Tabalong pada jaman itu masih merupakan dua sungai yang terpisah yang bermuara ke teluk tersebut. Pusat-pusat pemukiman kuno pada masa itu terletak di daerah yang sekarang merupakan wilayah sepanjang kaki pegunungan di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Ini berarti bahwa telah terjadi perluasan daratan Kalimantan ke arah laut Jawa sejak ribuan tahun lalu. Menurut pendapat umum, pengaruh Melayu kepada masyarakat Kalimantan lebih dulu terjadi sebelum datangnya pengaruh dari Jawa. Orang Brunei pun juga menyatakan dirinya sebagai keturunan suku Sakai dari pulau Andalas (Sumatera). Diperkirakan suku Kedayan (Brunei), suku Banjar dan beberapa suku yang ada di Kalimantan Barat yang sering disebut kelompok Melayu Lokal, kemungkinan berasal dari satu kelompok induk yang sama (Proto Melayu) yang telah terpisah ratusan tahun dan sebelumnya menyeberang dari pulau Sumatera, kemudian bercampur dengan orang pribumi (Dayak) di daerah masing-masing. Hal ini dapat diketahui dari persamaan beberapa kosa kata dari bahasa Kedayan dan bahasa Banjar, seperti kata bepadah (memberitahu), tatak (potong), tarabah (terjatuh), dan sebagainya. Pengaruh Melayu juga kita dapatkan pada dialek Bahasa Banjar Amuntai dan Banjarmasin yang mengucapkan huruf r dengan cadel. Pendapat lain menyatakan bahwa pulau Borneo (terutama Kalimantan Barat) adalah tanah asal usul bahasa Melayu, karena banyaknya jenis bahasa Melayu Lokal yang berkembang seperti Sarawak, Iban, Selako, Ketapang, dan Sambas. Diperkirakan kelompok Melayu (baca: Proto Malayic) inilah yang datang pada migrasi ke II yang mendesak kelompok Melanesia (nenek moyang Papua) yang datang pada migrasi I, akhirnya keluar dari Borneo. Tetapi kemudian kelompok Proto Malayic (Iban) terdesak oleh nenek moyang Dayak (migrasi III) yang datang dari pulau Formoso dengan membawa adat pemotongan kepala ngayau/pengayauan) sehingga sebagian kelompok Proto Malayic migrasi keluar dari Borneo. Proto Malayic menurunkan Proto Malay yang menggunakan bahasa Melayu Lokal (Bukit, Banjar, Kutai dan lain-lain). Sedangkan Proto Malay (Proto Melayu) menurunkan suku Melayu yang ada sekarang ini. Demikian pula ada sebagian kelompok Dayak (Maanyan) yang migrasi
menuju Madagaskar.





Melayu (Orang Pahuluan)

Migrasi penduduk ke pulau Borneo telah terjadi sejak tahun 400 yang dibuktikan dengan adanya prasasti yupa peninggalan Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur yang menunjukkan adanya masyarakat pendatang yang membawa agama Hindu ke daerah tersebut. Demikian pula di daerah Kalimantan Selatan juga mengalami jejak migrasi penduduk yang panjang. Menurut pendapat sebagian ahli sejarah, orang melayu (melayu kuno) telah datang ke daerah ini pada sekitar abad ke-6. Diperkirakan orang melayu datang melalui selat Karimata yang memisahkan pulau Belitung dengan wilayah kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang penduduknya saat ini dikenal dengan sebutan orang Melayu Ketapang.

Ketika para imigran orang Melayu (melayu kuno) tersebut yang kemudian dinamakan orang Pahuluan bermigrasi ke wilayah ini (Kalsel), mereka mendarat di sepanjang pesisir sebelah timur teluk raksasa tersebut, dan memasuki sungai-sungai yang berhulu di sepanjang sisi barat pegunungan Meratus dan mendesak suku Maanyan (Dayak Mongoloid) ke arah hulu sungai Tabalong dan sungai Balangan serta mendesak kedudukan Urang Bukit ke hulu sungai di pegunungan Meratus yaitu ke hulu sungai Pitap, sungai Batang Alai, sungai Labuan Amas, sungai Amandit, sungai Tapin, sungai Riam Kanan dan sungai Riam Kiwa. Suku Bukit sebenarnya merupakan orang melayu kuno (Dayak Melayunoid) yang telah datang pada gelombang pertama ke wilayah ini. Jadi Suku Bukit dan suku Maanyan sebelumnya tinggal lebih ke hilir (dekat pesisir pantai) daripada tempat tinggalnya yang sekarang. Orang Pahuluan mendirikan pemukiman yang terpisah dengan orang Bukit dan orang Maanyan. Sebagian orang Pahuluan tersebut mendarat di sekitar kota Tanjung, Tabalong sekarang ini dan mendirikan Kerajaan Tanjung Puri yang di masa tersebut terletak di tidak jauh dari pantai, mereka bertetangga dengan suku Dayak Maanyan yang tinggal di sekitarnya (Tanta, Tabalong).

Menurut sebagian pendapat yang lainnya menyatakan bahwa orang-orang Dayak Meratus (suku Bukit) berasal dari moyang orang Banjar Hulu yang bergerak naik ke dataran tinggi sebelum etnik Banjar itu sendiri terbentuk.

Di wilayah pegunungan Meratus di Kabupaten Balangan merupakan perbatasan antara wilayah pengaruh suku Dayak Maanyan dan suku Dayak Bukit, yaitu suku Dusun Balangan (Dayak Maanyan) yang tinggal hulu sungai Balangan, kecamatan Halong, Balangan di berbatasan dengan orang Dayak Pitap (Dayak Bukit) yang tinggal di hulu sungai Pitap, kecamatan Awayan, Balangan. Suku Bukit tidak mengenal adat ngayau seperti pada kebanyakan suku Dayak, dan mereka tinggal secara komunal dalam "balai" yang bentuk hunian memusat. Hal tersebut kemungkinan suku Bukit (Dayak Bukit) berbeda asalnya dengan suku Dayak rumpun Ot Danum yang diduga berasal dari Formosa (Penduduk Pribumi Taiwan) yang membawa adat ngayau (pemenggalan kepala).

Dayak Maanyan

Suku Dayak Maanyan (Kelompok Barito Timur) bermigrasi datang dari arah timur Kalimantan Tengah dekat pegunungan Meratus dan karena tempat tinggal sebelumnya dekat laut, suku Maanyan telah melakukan pelayaran hingga ke Madagaskar sekitar tahun 600. Setelah berabad-abad sekarang wilayah suku Maanyan di Barito Timur sangat jauh dari laut karena adanya pendangkalan tersebut. Suku Maanyan dan suku Bukit yang sebelumnya tinggal dekat laut seolah-olah terjebak di daratan dan kehilangan budaya maritim yang mereka miliki sebelumnya.

Wilayah Majapahit

Menurut Kitab Negarakertagama, wilayah lembah sungai Tabalong dan Barito merupakan propinsi Majapahit di kawasan ini. Wilayah Tabalong secara intensif mendapat pengaruh dari pendatang, sehingga berdiri beberapa kerajaan di wilayah ini. Wilayah Tabalong semula merupakan pemukiman Suku Dayak Maanyan. Sedangkan sebagian wilayah Barito (Tanah Dusun) pada umumnya merupakan pemukiman dari "Orang Dusun" (Dusun, Manyan, Lawangan, dan suku serumpunnya). Kecuali di hilirnya yang merupakan keturunan suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak Bara Dia (Mangkatip) dan Suku Dayak Bakumpai. Suku Dayak Ngaju (Kelompok Barito Barat) bermigrasi dari arah barat Kalimantan Tengah. Suku Ngaju ("Orang Dayak") merupakan keturunan dari suku Dayak Ot Danum yang tinggal dari sebelah hulu sungai-sungai besar di wilayah tersebut. Kelompok dari Suku Dayak Ngaju yang banyak mendapat pengaruh pendatang adalah suku Dayak Bakumpai dan Barangas. Belakangan pengaruh agama Islam menjadi ciri bagi Suku Dayak Bakumpai dan Barangas.

Orang Batang Banyu

Permukiman orang Pahuluan yang semula merupakan daerah pesisir terletak tidak jauh pantai, sekarang menjadi wilayah sepanjang kaki pegunungan Meratus yang sekarang menjadi kota-kota Tanjung, Paringin, Batu Mandi, Birayang, Barabai, Pantai Hambawang (Labuan Amas), Rantau, Binuang, Karang Intan (Kayu Tangi), Pelaihari dan sebagainya. Mereka mendirikan kampung-kampung bubuhan yang masing-masing berdiri sendiri, diantaranya diperkirakan berhasil membentuk pemerintahan lokal yaitu sebuah "kerajaan bubuhan". Setelah sekian lama berlalu, sebagian Orang Pahuluan akhirnya bermigrasi ke arah hilir menuju dataran rendah aluvial berawa-rawa di lembah sungai Negara (Batang Banyu) yang telah mengalami pendangkalan.

Pada abad ke-14 di wilayah tersebut terbentuk kerajaan yang didirikan Ampu Jatmika, saudagar dari negeri Keling yang membawa agama Hindu dan mendirikan Candi Laras di daerah Margasari, selanjutnya setelah menaklukan daerah lima aliran sungai yaitu Batang Alai, Tabalong, Balangan, Pitap dan Amandit yang dinamakan daerah Banua Lima, dia kemudian menaklukan wilayah perbukitan yang dihuni orang Bukit (keturunan melayu kuno) dan orang Maanyan (keturunan Ot Danum). Setelah itu dia kemudian mendirikan Candi Agung di Amuntai. Candi-candi tersebut didirikan dengan tiang pancang ulin maupun dengan teknik konstruksi kalang sunduk yang menyesuaikan dengan kondisi tanah lahan basah yang selalu terendam di kala air pasang. Pada masa tersebut beberapa "kerajaan bubuhan" yang merupakan wilayah pemukiman yang masih keturunan sedatuk akhirnya berhasil disatukan dalam satu kesatuan politik yang lebih kuat yaitu "Kerajaan Negara Dipa".

Sekitar tahun 1362 wilayah ini menjadi taklukan Majapahit. Inilah pemukiman masyarakat pendatang dengan pusat keraton yang memiliki kebudayaan yang lebih maju dibandingkan penduduk asli. Hunian di tepi sungai Negara (sungai Bahan) ini semula terpisah dengan pemukiman orang Pahuluan, orang Bukit (Dayak Melayunoid) maupun orang Maanyan (Dayak Mongoloid) tetapi oleh diffusi kebudayaan keraton Hindu yang dianggap sebagai kebudayaan lebih maju pada jamannya, maka etnis penduduk yang lebih asli tersebut ikut bercampur ke dalam budaya masyarakat Hindu tersebut yang terdiri dan orang Melayu Hindu dan orang Jawa Hindu, percampuran etnis inilah yang merupakan masyarakat "Dayak Heteronoid" yang heterogen yang disebut orang Batang Banyu. "Dayak campuran" seperti ini juga terdapat pada suku Dayak Mualang di Kalbar.

Masyarakat kerajaan Hindu inilah yang juga menjadi cikal bakal suku Banjar yang mungkin dapat kita namakan sebagai orang Hindu Batangbanyu (orang Banjar Hindu). Bahasa yang digunakan di wilayah Batangbanyu sejak abad ke-13 telah mendapat pengaruh bahasa Jawa-Majapahit misalnya kata lawang (pintu), anum (muda) yang berasal dari bahasa Jawa, sedangkan orang Bukit yang tinggal di pegunungan jauh dari pesisir tetap menggunakan beberapa kosa kata bahasa Melayu seperti pintu, muda, dinding, kunyit, padi, balai, dan sebagainya.

Banjar

Wilayah Batang Banyu di Hulu Sungai yaitu daerah tepian sungai Negara dari Kelua hingga muaranya di sungai Barito terdiri dari daerah Margasari dan wilayah Banua Lima terdiri dari kota-kota Kelua, Sungai Banar, Amuntai, Alabio, dan Negara.
Dari wilayah inilah "masyarakat Batangbanyu" dipimpin salah seorang bangsawan pelarian dari Kerajaan Hindu (Kerajaan Negara Daha) bermigrasi ke hilir membentuk pusat kerajaan baru dekat muara sungai Barito yaitu di kampung Banjarmasih yang merupakan "enclave" perkampungan masyarakat pendatang terdiri dari orang Melayu dan orang Jawa. Perkampungan ini terletak diantara mayoritas perkampungan orang Barangas (Ngaju), selanjutnya berdatangan imigran pendatang baru secara bergelombang hingga terbentuklah Kesultanan Banjarmasih yang juga menimbulkan diffusi kebudayaan keraton kepada masyarakat sekitarnya (orang Barangas).

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar maka sesudah tahun 1526 terbentuklah masyarakat yang disebut orang Banjar (Kuala) yang merupakan amalgamasi dari unsur-unsur Melayu, Jawa, Bukit, Maanyan, Ngaju dan suku-suku kecil lainnya. Islamisasi ke pedalaman (Hulu Sungai) begitu intensif sesudah tahun 1526, dan wilayah Kerajaan Negara Daha berhasil ditaklukan sepenuhnya. Sejak tahun 1526 pusat Kerajaan Negara Daha ini dipindahkan oleh Maharaja Tumenggung ke daerah Alai di pedalaman. Berita dari Kesultanan Pasir mengatakan bahwa karena kemelut yang terjadi di kerajaan Kuripan-Daha sekitar tahun 1565, pelarian dari kerajaan tersebut yaitu Tumenggung Duyung dan Tumenggung Tukiu telah mendirikan kerajaan Sadurangas (Pasir) di Kalimantan Timur.
Dengan diterimanya agama Islam oleh orang Pahuluan dan orang (Hindu) Batangbanyu sesudah tahun 1526 maka sebutan orang Pahuluan dan orang (Hindu) Batangbanyu dapat kita namakan dengan sebutan orang Banjar Pahuluan dan orang Banjar Batangbanyu, sedangkan orang Bukit (urang Bukit) yang sebenarnya masih keturunan Melayu (Dayak Melayunoid) tetap teguh mempertahankan agama suku dan belum menerima agama Islam, maka mereka dikategorikan sebagai "dayak" dengan sebutan Dayak Bukit. Orang Maanyan yang sejak semula menganut agama Kaharingan memang penduduk asli Borneo (orang Dayak), yaitu keturunan Dayak rumpun Ot Danum (Dayak Mongoloid). Suku Banjar merupakan kumpulan etnis yang besar dan kompleks, jadi berbeda dengan suku Dayak Bakumpai, suku Dayak Bara Dia, suku Dayak Dusun Deyah, suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Dusun Witu dan lain-lain, masing-masing suku ini merupakan suku yang masih seketurunan sedatuk yang geneologis dan jumlahnya relatif lebih sedikit dari suku Banjar.

Dari wilayah Kalimantan Selatan, suku Banjar bermigrasi ke wilayah lainnya di Kalimantan.

Migrasi

Migrasi ke Kalimantan Timur

Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565 yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas ( Kesultanan Pasir Belengkong) di daerah Pasir, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur.

Migrasi ke Kalimantan Tengah

Sedangkan migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengijinkan berdirinya Kesultanan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Adipati Antakusuma.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (GustiInu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.

Migrasi ke Sumatera

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Kesultanan Indragiri sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat) yang berasal dari Martapura yang menjabat sebagai Mufti Kesultanan Indragiri.

Migrasi ke Malaysia

Dalam masa-masa tersebut, suku Banjar juga bermigrasi ke Malaysia antara lain ke negeri Kedah, Perak( Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh), Selangor(Sabak Bernam, Tanjung Karang), Johor(Batu Pahat) dan juga negeri Sabah(Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau) yang disebut Banjar Melau. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari Malaysia adalah Syekh Husein Kedah Al Banjari, mufti Kerajaan Negeri Kedah. Salah satu etnis tokoh Banjar dari Malaysia yang terkenal saat ini adalah Dato Seri (DR) Harussani bin Haji Zakaria yang menjadi Mufti Kerajaan Negeri Perak. Daerah (setingkat kabupaten) yang paling banyak terdapat etnis Banjar di Malaysia adalah Daerah Kerian di Negeri Perak Darul Ridzuan.

Pembagian Suku Banjar

Sebutan Orang Banjar mulai digunakan sesudah tahun 1526 sejalan dengan proses islamisasi di wilayah inti Kesultanan Banjar sehingga terbentuklah 3 kelompok suku Banjar berdasarkan persfektif historisnya dengan melihat kawasan teritorialnya dan unsur pembentuknya maka suku Banjar dibagi menjadi :
Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
Banjar Batang Banyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok)
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya seperti Dusun, Lawangan, dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_suku_bangsa_Banjar"

Perlawanan atas Hegemoni Jawa

Perlawanan atas Hegemoni Jawa
Ketegangan antara pusat dan daerah yang teraktualisasikan berupa tuntutan merdeka di Aceh, Papua (Irian), Riau dan Makassar (bahkan secara diam-diam sebenarnya daerah lain juga), dengan segala latar penyebabnya, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Rezim Soeharto lah yang begitu kokoh selama 3 dasawarsa berkuasa telah membuat banyak orang lupa adanya akar-akar ketegangan tak terselesaikan di masa lalu. Seharusnya bukannya orang-orang pintar dari Jawa yang kini terkejut dengan segala tuntutan lokal itu, tapi orang-orang pintar (?) itu layak terkejut bahwa selama ini mereka bisa melupakan api dalam sekam itu.

Dalam rezim Soekarno ketegangan itu sebagian teraktualisasikan dalam pemberontakan daerah, kemudian ''ditumpas'' tapi sebenarnya tak berhasil, karena akar-akar wacananya tetap hidup di daerah. Lalu dalam rezim sentralistik-represif Soeharto, akar dari pucuk-pucuk pohon ketidakpuasan daerah yang ditebang rezim Soekarno itu, malah terpupuk subur, bahkan menciptakan tanaman ketegangan baru di daerah-daerah lain. Studi tentang tema ketegangan pusat dengan daerah pada rezim Soeharto, sekalipun tak banyak dan belum menghasilkan jawaban yang memuaskan, hampir-hampir tak pernah diperhatikan orang pintar dari Jawa. Studi dan analisis juga telah dilakukan tentang era rezim Soekarno, dilakukan peneliti Barat dan Indonesia. Sebutlah secara acak Kahin (1952), Feith (1963), Harley (1974), Geertz (1963), terus ke Sjamsuddin (1990) ataupun Lerissa (1991).

Sebagian dari hasil studi itu, (sekalipun konteks sudah berubah dan kompleksitas permasalahannya berkembang) kini mulai juga dipantulkan dan dijadikan argumen orang pintar dari Jawa, termasuk sebagian para pejabat pemerintah, militer termasuk anggota parlemen untuk menjelaskan ketegangan yang sekarang terjadi. Argumen itu kini mendominasi media massa Jakarta, dan solusi pemecahan yang ditawarkan masih sebatas retorika pemberian hak otonomi dari pusat ke daerah dalam hal keadilan sosial-ekonomi, otonomi politik, (plus tambahan sekedar lampiran: otonomi budaya dan agama untuk Aceh). Seakan-akan dengan itu semua keadaan menjadi beres, dan negeri ini dapat lenggang kangkung berjalan menuju ke apa yang kini disebut secara tak jelas sebagai ''Indonesia Baru''. Ini merupakan suatu penggampangan kompleksitas permasalahan yang patut disesalkan, karena pusat gempa politik itu sebenarnya bukan berada pada wilayah ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik, tapi pada wilayah penolakan hegemoni Jawa. Faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik hanyalah faktor-faktor yang memperkuat, mempertajam, serta memicu faktor utama, yakni faktor penolakan orang luar Jawa untuk takluk dalam hegemoni Jawa.

Ketegangan pusat-daerah, Jawa-Luar Jawa itu, ingin saya lihat jauh ke belakang, ke wacana abad-abad yang dilupakan melalui sisi penolakan hegemoni politik Jawa dan pantulannya yang sebangun (sekalipun tak sama) dengan masa kini. Kebetulan, riset saya belakangan ini di Universitas Hamburg-Jerman, memusatkan perhatian pada tema wacana teks klasik tentang hubungan politik antara apa yang kini dikenal sebagai Jawa dan Luar Jawa dalam konteks abad 16-18 (Die politischen Beziehungen zwischen Malay und Java in der klassischer malaiischer Texte).

Dalam tulisan berikut ini setiap kali penyebutan Jawa, dimaksudkan bukan dalam artian etnik (suku) Jawa, melainkan pusat kekuasaan yang ada di Jawa (Jakarta). Pusat kekuasaan itu dikendalikan baik oleh penguasa orang Jawa, maupun oleh orang luar Jawa yang telah menjadi bagian dari, dan pengabdi pada, kekuasaan Jawa. Orang yang terakhir ini ingin saya namakan sebagai ''Orang Jawa-Luar'', artinya orang Jawa yang datang dari luar etnik Jawa. Dalam riset saya, ada pemisahan yang tajam antara pusat kekuasaan politik Jawa di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain. Hegemoni Jawa yang dirujuk tulisan ini dimaksudkan pada kekuasaan politik Jawa dan bukan pada peradaban Jawa dan bukan pada peradaban Jawa yang sebenarnya tidak menimbulkan ketegangan. Peradaban Jawa mendapat tempat penerimaan dalam beberapa kasus di luar Jawa, sebaliknya kekuasaan politik Jawa mendapat penentangan juga oleh pembelot-pembelot Jawa yang melarikan diri ke luar Jawa.

Sumber ketegangan utama Jawa-Luar Jawa temuan riset saya adalah penolakan luar Jawa (dunia Melayu) terhadap hegemoni politik Jawa (dalam teks Melayu direduksi menjadi Majapahit). Padahal Jawa pada waktu itu tidak menaklukkan dunia luar Jawa secara ekonomi dan teritorial dalam pengertian masa kini. Jika fakta menunjukkan dalam Indonesia moderen bahwa Jawa telah berperan sebagai penjarah ekonomi daerah dan sebagai penguasa tunggal suatu kawasan nyaris seluas benua Eropa, maka hal itu tidak berlangsung di dunia klasaik ini. Tapi ketegangan, dendam kesumat dan kemuakan pada pusat kekuasaan Jawa telah berlangsung di abad-abad yang lalu itu.

Teks-teks yang saya teliti merupakan wacana dari dunia Melayu yang melakukan perlawanan terhadap hegemoni politik Jawa untuk mengukuhkan kedaulatan di dunia mereka sendiri. Ini merupakan wacana reaksi dan perlawanan dari orang yang secara politik menolak untuk ditaklukkan Jawa. Dalam wacana Melayu, Majapahit bukanlah pusat kekuatan yang besar, bertolak belakang dengan wacana Jawa tentang Majapahit dalam teks Nagarakrtagama. Teks Nagarakrtagama khususnya bagian ekspansi fasisme Jawa ke luar Jawa dapat dianggap sebagai wacana angan-angan keangkuhan hegemoni Jawa, dan bukan sebuah dokumen historis, sebagaimana secara kontroversial pernah dibongkar Berg (1974). Sayangnya Sejarah Nasional resmi Indonesia (yang tetap diagitasikan ke jutaan murid sekolah Indonesia, termasuk murid di luar Jawa) masih berdasar tahyul Majapahit raya dan teks Jawa Nagarakrtagama. Tahyul ini telah diabsahkan sejarahwan Jawa yang berperan sebagai Prapanca-prapanca moderen, mulai dari Muhammad Yamin yang menjawakan dirinya sampai ke Nugroho Notosusanto termasuk Sartono Kartodirdjo beserta ''sejarahwan'' resmi yang menjadi pengikut setianya.

Jika teks Jawa Nagarakrtagama memuja kesuksesan ekspedisi Majapahit menghancurkan dunia Melayu melalui ekspedisi Pamalayu 1275, maka teks Melayu seakan mencemooh kesuksesan ekspedisi yang secara historis meragukan itu. Jangankan sukses menaklukkan Nusantara sebagaimana dengan angkuh dan sesumbarnya disumpahkan Patih Gajah Mada yang fasis itu, sedang Singapura sajapun tidak berhasil dihancurkan Majapahit. Teks Sejarah Melayu (edisi Shellabear 1896) memperlihatkan bagaimana militer Jawa pulang babak belur dengan kekalahan. Bila Majapahit berhasil mengalahkan Singapura, maka itu merupakan kemenangan murahan, karena Singapura kalah bukan karena raksasa Majaphit lebih kuat, tapi karena pembelotan elit di dalam negeri Singapura yang menyuruh dan membantu Majapahit menikam Singapura dari belakang. Jadi wacana teks dua kali menghancurkan wibawa dan martabat Majapahit. Pertama Majapahit kalah berperang dengan Singapura, kedua Majapahit hanya bisa menang perang di luar Jawa bila bekerjasama dengan pengkhianat setempat.

Aceh yang diserbu Majapahit secara besar-besaran di dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai (Koleksi Raffles, MS 67) bukanlah Aceh yang mudah menyerah. Sekalipun teks ini menyalahkan Sultan Pasal yang memperlemah kekuatannya, tapi Majapahit sebenarnya tidak berhasil mengalahkan Pasai. Pasai kalah oleh Majapahit bukan karena militer Majapahit lebih kuat dari militer Pasai, tapi karena Majapahit dibantu oleh aliansi kerajaan-kerajaan Sumatera untuk mengeroyok Pasai yang ada dalam kondisi lemah. Itupun dengan susah payah baru bisa Pasai dikalahkan. Tapi Majapahit sebenarnya lebih dulu wibawa dan martabatnya dihancurkan Pasai melalui simbolisasi demoralisasi anak perempuan raja Majapahit yang menggilai anak Sultan Pasai sampai nekat bunuh diri di perairan Aceh. Jadi teks ini dua kali juga menghancurkan wibawa dan martabat Majapahit, Pertama anak raja Majapahit mati bunuh diri karena menggilai anak Sultan Pasai. Kedua, Majapahit tidak bisa sendirian mengalahkan Pasai yang lagi lemah kalau tidak main kroyok dengan kerajaan lain.

Wacana tentang Aceh klasik ini secara replektif bisa dibandingkan dengan mengajukan pertanyaan apakah TNI benar-benar bisa menaklukkan rakyat Aceh yang kelihatan dari sudut militer lemah? Apakah dengan pendekatan represif di Aceh, sekalipun rakyat Aceh banyak telah menjadi korban, pihak TNI telah berhasil memperoleh kemenangan, ataukah justru jatuh terjerembab wibawa dan martabatnya di mata rakyat dan dunia internasional? Bila TNI dengan kekuatan militer masih terus nekat ingin menegakkan hegemoni Jawa di Aceh, tidakkah itu merupakan tindakan bunuh diri seperti puteri Majapahit yang mati bunuh diri di Aceh?

Dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai juga, orang-orang Minangkabau menolak takluk dalam hegemoni Jawa degan menunjukkan rendahnya kecerdasan penguasa Jawa dalam menaklukkan Minangkabau. Kerbau kuat yang dibawa dari Jawa mati berlaga dengan anak kerbau kurus Minangkabau dalam adu kerbau tak seimbang yang sangat mendebarkan dan mempertaruhkan harga diri Jawa di Minang. Matinya kerbau Jawa yang kekar dan kuat oleh anak kerbau Minang yang kelaparan dan loyo dalam adu kerbau itu menunjukkan penghinaan teks ini pada keangkuhan penguasa Jawa. Jawa boleh kuat secara militer tapi bodoh secara intelektual. Kebodohan yang akhirnya menggilas kekuatan militernya sendiri. Pasukan Jawa yang harga dirinya sudah jatuh karena harus menerima kekalahan perang simbolis itu, masih dihancurkan lagi dengan kelicinan Minang yang membuat pasukan militer Jawa yang moralnya sudah ambruk itu gampang dibunuh. Kasus ini memperlihatkan cara berpikir penguasa Jawa yang merasa paling tahu untuk mengatur kebijakan orang-orang di luar Jawa. Cara berpikir yang merasa paling tahu tentang kondisi dan kekuatan lokal yang jauh dari Jawa itu bukan hanya tidak berhasil mencapai target yang diinginkan, tapi berakhir jadi bumerang untuk Jawa.

Tidak hanya di luar Jawa kekuasaan Jawa itu dihancurkan. Saking geramnya dunia Melayu dalam menolak hegemoni Jawa, wacana mereka juga menyerang dan menghancurkan wibawa dan martabat Jawa jutru di Jawa. Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Banjar merupakan wacana untuk menghajar pusat kekuasaan Jawa yang selama ini (melalui hegemoni Jawa itu) telah menghancurkan kedaulatan dunia Melayu. Teks Hikayat Hang Tuah yang versi salinannya ditemukan lebih 20 dan terbanyak tersimpan di museum London itu, sangat radikal menampilkan kekuatan dan kemarahan Melayu mengobrak-abrik istana Majapahit, membunuh militer Jawa, mempermalukan raja Jawa dan panglima militernya, serta meruntuhkan pusat sakral kekuasaan Jawa. Kemarahan dunia Melayu terhadap Jawa sampai melumpuhkan pusat kekuasaan Jawa ini dengan fokus yang lain, telah saya ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya (Republika 3 Maret 1999). Perlawanan luar Jawa terhadap hegemoni Jawa, dengan demikian bisa mencapai tahap radikalnya, yang justru menghancurkan Jawa, tahap yang tak terbayangkan oleh kekuasaan Jawa yang merasa diri paling kuat di jagad Nusantara ini.

Teks Hikayat Banjar (Rass 1968) memperlihatkan bagaimana pusat kekuasaan Jawa berhasil ''ditaklukkan'' oleh Banjar tanpa perang. Penolakan hegemoni Jawa oleh kekuatan Banjar langsung di Majapahit menghadirkan kegemparan di pusat kekuasaan Majapahit karena teks benar-benar menghajar tanpa ampun wibawa pusat kekuasaan Jawa. Raja Majapahit dan Gajah Mada beserta jajaran elitnya di negerinya sendiri ditunjukkan jadi gemetar, terpuruk ketakutan ketika mendengar Lambu Mengkurat, penguasa Banjar, datang ke Majapahit. Raja Majapahit dalam pandangan rakyat Jawa tanpa bisa melakukan perlawanan sedikit pun benar-benar dihina dan direndahkan oleh penguasa Banjar itu. Penguasa dari Kalimantan ini tidak mau tunduk pada Majapahit karena dia menganggap kehebatan Raja Majapahit, kekayaan, dan kekuatannya ada di bawah penguasa Banjar. Secara keseluruhan teks ini merupakan reaksi paling ironis dalam melawan hegemoni Jawa di Banjar, sebab pada bagian awal, teks dengan parodi menonjolkan berlangsungnya hegemoni Jawa di Banjar, yang telah menggiring dan menjadikan orang Banjar sebagai fotokopi dari Jawa.

Ini sekadar sketsa beberapa contoh kasus wacana masa lalu dari beberapa teks. Ada ratusan wacana masa lalu lainnya, tidak hanya dalam teks klasik tapi dalam bentuk tradisi lisan yang tersebar di luar Sumatera, seperti di daerah Sunda, Kalimantan, Sulawesi ataupun kawasan timur Indonesia. Wacana modern mungkin terekam dengan baik, atau tetap hidup segar dalam pikiran orang-orang luar Jawa. Pada era rezim Soeharto yang sentralistik-represif, wacana penolakan hegemoni Jawa tidak mati, melainkan hidup bahkan berkembang sekalipun melalui suara bisik-bisik di lorong sempit kampus-kampus luar Jawa. Sebagian hadir berupa makian ataupun umpatan kekesalan di kaki lima kota-kota luar Jawa, di kedai kopi kampung-kampung terpencil, di tengah ladang dekat lintasan pipa besar yang mengalirkan minyak ke Jawa, di tepi hutan yang telah diluluhlantakkan pengusaha dari Jawa ataupun di depan kantor Koramil yang tidak bisa tidak selalu membela kepentingan Jawa.

Sedangkan tanpa pengambilan aset ekonomi dan penguasaan wilayah pun perlawanan luar Jawa atas hegemoni Jawa tetap berlangsung seperti yang ditunjukkan teks-teks klasik. Apalagi kini hegemoni Jawa itu diikuti dengan penjarahan, penindasan dan pembunuhan. Jika sekarang ketegangan itu meledak, maka bila dilihat dari sisi luar Jawa, itu adalah ledakan bom waktu yang sudah terlalu lama diyakini akan meledak. Untuk Aceh saat ini mungkin sudah terlambat, entahlah kalau secepatnya meloncat ke sistem federasi. Federasi mungkin menjadi juru selamat, setidaknya untuk daerah-daerah yang belum ''panas''. Keadaan bisa menjadi sulit jika melihat, sekarang penguasa Jawa yang mengendalikan Indonesia masih menginginkan luar Jawa sebagai daerah taklukan: persis seperti Gajah Mada menginginkan jagad Nusantara ada dalam genggamannya. Penguasa Jawa saat ini belum bisa menangkap (atau tidak mau menangkap) suasana batiniah orang-orang luar Jawa yang dari dulu sebenarnya tidak pernah mau diperintah dan dikendalikan oleh ''orang pintar'' dan orang kuat yang jauh di Jawa sana.

ACHEH TIDAK PERNAH MEMPUNYAI HUBUNGAN SEJARAH KETATANEGARAAN

OMAR PUTEH: ACHEH TIDAK PERNAH MEMPUNYAI HUBUNGAN SEJARAH KETATANEGA Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply < Prev Message | Next Message >
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@...
www.ahmad-sudirman.com

Stavanger, 19 Maret 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.


ACHEH TIDAK PERNAH MEMPUNYAI HUBUNGAN SEJARAH KETATANEGARAAN DENGAN
INDONESIA JAWA
Omar Puteh
Stavanger - NORWEGIA.


BERDASARKAN FAKTA DAN BUKTI MENYATAKAN BAHWA ACHEH TIDAK PERNAH MEMPUNYAI
HUBUNGAN SEJARAH KETATANEGARAAN DENGAN INDONESIA JAWA.

1. Telah tercatat dalam sejarah bahwa, kapal dagang saudagar-saudagar Acheh
memasuki Pulau Jawa, pada tahun 1030 (262 tahun sebelum wujudnya Kerajaan
Majapahit), untuk menjual batu-batu nisan hasil budayanya, bersambilan
dengan misi lain mereka meng-Islamkan Jawa itu sendiri.

Catatan sejarah kuno atau purba dari bangsa Acheh terhadap perdagangan batu
nisan itu, sama sekali terbaca, sebagai tidak mempunyai hubungan sebarang
elemen strukturil sejarah ketatanegaraan Acheh dengan Jawa, kecuali
dipandang dan disifatkan sebagai hubungan insidentil perdagangan dan
kebudayaan semata-mata. Sebagaimana telah dipahamkan, bahwa sememangnya
dengan batu-batu nisan itulah saudagar-saudagar Acheh meng-Islamkan
Jawa-Hindu ketika itu.

Diantara salah satu dari batu-batu nisan itu, kemudian selamat ditemui pada
tahun 1211 di Demak. Lucunya dari beberapa buah buku sejarah Penjajah
Indonesia Jawa, tahun 1211 itu, dikatakan dan diceritakan pula sebagai tahun
pertama sejarah kemasukkan Islam ke “Indonesia”?

Disini, dari keterangan diatas, terlihat perbedaan unik metoda pedagogis
magis? (hanya dengan relief batu nisan) yang diapplikasikan oleh
saudagar-saudagar Acheh dengan kehendak meng-Islam-kan Jawa-Hindu ketika
itu, dibandingkan dengan metoda pedagogis shadowis (wayang kulit), yang
diadoptasi oleh Pak Dalang Malik Maulana Ibrahim, ketika mengupgradingkan
Islam Jawa Abangannya, yaitu ratusan tahun setelah Jawa-Hindu itu
"dibatunisankan" oleh saudagar-saudagar Acheh.

Nah, itulah "misi" saudagar-saudagar Acheh! Dan itulah pula "misi"
batu-batu nisan dagangan saudagar-saudagar Acheh itu!

Disinipun kita lihat, walaupun Penjajah Indonesia Jawa, yang telah
mengetahui sejak awal, bahwa warganegara Kerajaan Peureulak, Darul 'Akla,
Acheh telah menerima syari'ah Islam sejak tahun 700, jauh sebelum cerita Mpu
Sendok-Jawa ditulis dalam lembaran sastra Jawa, namun sejarah itu,
disembunyikan oleh Penjajah Indonesia Jawa, malahan direkayasanya pula,
dalam bentuk cerita lain.

Memang Acheh itu bukan Indonesia! Dan sememangnya Jawa itu adalah
Indonesia! Mereka sebenarnya telah mengakui bahwa Peureulak, Darul 'Akla,
Acheh itu adalah Acheh, sedangkan Demak, Indonesia itu adalah Jawa!

Ini untuk menjadi catatan kepada Permadi PDI-P anggota Komisi I DPR Penjajah
Indonesia Jawa, bahwa Acheh bukan Indonesia Jawa! Kecuali si Sofyan
Djalil, yang bengok itu, yang baru saja dilantik oleh Penjajah Indonesia
Jawa sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi, yang berasal dari Peureulak,
Darul 'Akla, Acheh juga, tetapi telah menyatakan dirinya sebagai Indonesia
Jawa etnis Acheh Mojokertonis-Solois!

Untuk uraian masalah batu-batu nisan Acheh ke Jawa dan cerita rujak
sambalnya, nampaknya sudah cukup dan memadai untuk diterangkan bahwa ianya
tidak mempunyai hubungan unilateral atau bilateral ketatanegaraan apapun
antara Acheh dengan Jawa.

2. Begitu juga dengan "misi" Fathahillah dari Pasee, Acheh, yang kemudian
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah seorang diantara Wali Songo orang
Jawa yang dipuja-sembah oleh Islam-Jawa Abangan. Dan "misi" anak-cucu
Fathahillah (Sunan Gunung Jati): Sultan Yusuf menjadi Raja Sunda dan Sultan
Hasanuddin menjadi Raja Banten. Misi inipun tidak mempunyai sebarang
hubungan strukturil ketatanegaraan antara Acheh dengan Jawa atau Indonesia!

3. Atau begitu juga dengan rekayasa "misi" dongengan sejarah Majapahit
menyerang Kerajaan Teumiang, Acheh, yang kemudian diceritakan kesemua
tentara Majapahit itu sendiri, dihancurkan dan sekaligus Perdana Menterinya
Gajah Mada mati dibunuh oleh tentara Kerajaan Benoa, Temiang, Acheh, yang
diserang itu. Kalau benar Gajah mati dibunuh di Benoa, Teumiang, Acheh, maka
secara kebetulan tahun kematiannya bertepatan dengan tahun yang sama, tahun
kunjungan pertama Ibnu Bathutah ke Acheh pada tahun 1364.

Timbul pertanyaan bagaimanakah ketahanan fisik Gajah Mada, yang dikatakan
pada tahun penyerangan atas Kerajaan Benoa, Teumiang, Acheh itu umurnya
sudah mencecah 90 tahun, (mengikut umurnya pada tahun dia menumpas
gerombolan Ranggalawe Cs), dan tidakkah ia mengalami mabuk laut
termuntah-muntah dengan perahu kecilnya, berlayar dari Delta sungai Brantas
atau dari Pulau Djawa yang letak geographisnya beribu-ribu mile itu?

Kemudian bangkai Gajah Mada, yang mati di Benoa, Teumiang, Acheh itu
dilayarkan lewat Selat Karimata, lewat Laut Jawa, lewat Delta Kali Brantas
atau lewat Pulau Jawa untuk ditanam di Pulau Buton, Sulawesi? Mengapakah
musti ke Pulau Buton, Sulawesi? Mengapakah tidak ditanam di Delta Sungai
Brantas, di Pulau Jawa?

Di Pulau Buton, Sulawesi itu, kuburan Gajah Mada dikeramati, seperti
keramatnya para Wali Songo, yang sembilan itu, karena “ceritanya” bangkai
Gajah Mada telah mengubah struktur kandungan bumi Pulau Buton, menjadi aspal
hitam, seperti laaksaan juta plankton-plankton menjadi minyak, seperti
pakis-pakis raksasa menjadi intan, seperti ribuan anak-anak Jawa pembunuh
bayaran KNIL Belanda menjadi si Belanda Hitam?

Lantas mengapakah pula wajah Prof Mohammad Yamin SH alias Mpu Tantular
dijadikan acuan gypsum untuk membentuk wajah patung Gajah Mada, yang
bangkainya itu telah menjadi aspal hitam itu? Misi inipun tidak mempunyai
sembarangan hubungan strukturil ketatanegaraan antara Acheh dengan Jawa atau
Indonesia!

4. Atau begitu juga dengan "misi" dongengan sejarah Majapahit menyerang
Pasee, (ketara sekali bentuk rekayasa dongengannya), karena dalam satu
cerita lain sehubungan dengan yang disebut pada point (3) diatas: Kerajaan
Pasee mengirim tentaranya membantu tentara Kerajaan Benoa, Temiang, untuk
menghancurkan tentara Majapahit sehingga Perdana Menterinya Gajah Mada,
sendiri mati dibunuh. Selain itu, Prof C.C.Berg, telah mengatakan bahwa
tidak ada tanda-tanda apapun bahwa Majapahit pernah berjingkrak keluar dari
wilayah Jawa Timur dan Madura. Jangankan dengan tentara lautnya, sedangkan
tentara daratnyapun pernah dihancurkan oleh Kerajaan Pajajaran. Karena,
dalam sejarahnya Majapahit tidak pernah ada armada lautnya. Kalau tidak
mengapa ALRI mengambil latar belakang sejarahnya dari sejarah Angkatan Laut
Kerajaan (Negara) Acheh, sebagaimana ucapan Deputy KSAL tahun 1969 di depan
Mesjid Raya, Baiturrahman di Banda Acheh. Misi inipun tidak mempunyai
sebarangan hubungan strukturil ketatanegaraan antara Acheh dengan Jawa atau
Indonesia!

5. Atau begitu juga dengan wujudnya "misi" makam kembar dari seorang ahli
kubur di Pasee: Makam pertama dari makam kembar itu, bertuliskan aksara Arab
sedang makam yang sebuah lagi dari makam yang kembar itu pula, dituliskan
dengan aksara Jawa? Mengapakah "benda" seperti ini bisa terjadi sedemikian
rupa?

Rekayasa pemalsuan sejarah itu baru terbuka, ketika seorang periset sejarah
Acheh dari Malaysia, sedang membuat serangkaian riset sejarah di Acheh,
diantaranya mengunjungi makam-makam sejarah digugusan makam Sultan
Malikussaleh, di Pasee. Karena mungkin ingin mengetahui langsung dari mulut
sang Kurator Musium Sejarah Acheh dari Banda Acheh itu sendiri, maka beliau
mengajukan sebuah pertanyaan:

"Bagaimanakah cerita sejarah sebenarnya, maka makam kembar dari seorang ahli
kubur yang disemadikan disitu, tetapi kemudian dijadikan dua sebagai makam
kembar: Yang satu bertuliskan dengan aksara Arab sedang makam kembar yang
satu lagi pula, dituliskan aksara Jawa? Begitu susah sang Kurator Sejarah
Acheh dari Banda Acheh itu menjawabnya, tetapi walaupun demikian, beliau
terpaksa menjawabnya juga: "Terlalu sangat susah saya menjawabnya!" Dengan
penjawaban sedemikian rupa, maka periset sejarah dari Malaysia itu, segera
menjadi maklum bahwa: Inilah sebagai salah satu kuburan sejarah politik
Penjajah Indonesia Jawa agaknya!!! Terungkapnya "peristiwa" perekayasaan
sejarah politik Penjajah Indonesia Jawa di Acheh kepada periset sejarah
Acheh dari Malaysia dan Jurnalist Utusan Malaysia pada tahun 1998 atau lebih
kurang tujuh tahun yang lalu itu, sungguh sangat mengejutkan bangsa Acheh
khususnya dan bangsa-bangsa Melayu Nusantara, pada umumnya, yang berada di
luar Pulau Jawa. Misi inipun tidak mempunyai sebarang hubungan strukturil
ketatanegaraan antara Acheh dengan Jawa atau Indonesia!

6. Begitu juga dengan "misi" Hikayat Raja-Raja Pasee. Mengapakah buku asli
Hikayat Raja-Raja Pasee, katanya hanya tinggal sebuah dan hanya dimiliki
oleh kerabat diraja Keraton Solo: Kuntjorodiningrat? Sehingga pernah
dikabarkan bahwa, Leiden Universitiet, dari Belanda terpaksa meminjamnya
dari sana? Misi inipun tidak mempunyai sebarangan hubungan strukturil
ketatanegaraan antara Acheh dengan Jawa atau Indonesia!

7. Begitu juga dengan "misi" penulisan sebuah naskah sejarah kemasukan Islam
di Peureulak, Darul 'Akla, Acheh pada tahun 700 itu, sebagai kemasukkan
Islam pertama di Asia, dikabarkan telah diisyaratkan musti menyelipkan
sealenia tulisan, yang menerangkan, bahwa Majapahit pernah menyerang Pasee?

Catatan: Tulisan tentang kemasukkan Islam ke Peureulak, Darul 'Akla, Acheh
pernah sampai ke Malaysia. Omar Puteh (penulis) pernah mintakan kepada
seorang rakan, agar tulisan yang telah dibingkaikan dengan cantik itu,
segera diturunkan dari gantungannya. Rakan itu mungkin merasa bangga, karena
tulisan yang dibingkaikan dengan cantik tadi dan digantungkan itu,
menerangkan kemasukkan Islam pertama ke Peureulak, Darul 'Akla, Acheh,
tetapi juga tercatat sebagai kemasukkan Islam pertama di Asia.

Tetapi rakan itu mungkin lupa dan tidak pula memikirkan kejadian apa yang
akan berlaku dimasa depan, bahwa akan ada orang sejenis Permadi dari PDI-P,
dari Komisi I DPR Penjajah Indonesia Jawa, akan mendakwa: Peureulak, Darul
'Akla, Acheh termasuk dalam bingkai wilayah integrasi Penjajah Indonesia
Jawa. Dakwaannya itu, karena Permadi itu buta sejarah!

Kemustian menulis Majapahit menyerang Passe dalam tulisan naskah sejarah
kemasukkan Islam ke Peureulak, Darul 'Akla, Acheh agar dimasa akan datang,
akan dibaca dan diingat oleh generasi Acheh berikutnya bahwa sejarah Acheh
yang demikian itu, akan diterima sebagai kesahihan sejarah.

Sama seperti yang telah banyak dilakukan oleh Prof Muhammad Yamin SH alias
Mpu Tantular diantaranya diciptakan sejarah "Sumpah Palapa". Apa itu Sumpah
Palapa? Rekayasa Sumpah Palapa itu diciptakan oleh Prof Muhammad Yamin SH
alias Mpu Tantular atas kehendak Soekarno si Penipu licik, agar dengannya
ketika Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dilebur oleh Rezim Jawa
Chauvinistis dari negara bahagian RI-Jawa Jokya dari aliran nasionalisme
etnis (Jawa) menjadi NKRI (Negara Kolonialis Republik Indonesia Jawa) maka
wilayah "nusantara" itu akan diklaimnya sebagai wilayah otomatis orang-orang
Jawa dari Negara Kertagama (Negara Kota Gajah Mada) Majapahit.

Untuk menjawab apa itu "Sumpah Palapa", Prof C.C. Berg telah menjelaskan
bahwa dia telah menyelidiki dengan penuh kecermatan dan ketelitian semua
naskah-naskah dongengan sejarah Jawa lama; semua kumpulan-kumpulan cerita
rakyat Jawa lama, baik yang masuk kedalam panggung Ketoprak, Wayang Wong,
Wayang Kulit, Ludruk dan segala jenis mantra-mantra kuda kepang mabok
kemenyan bakar; namun tidak menemui apapun tanda-tanda atau bacaan-bacaan
yang bisa menerangkan dan menyokong bahwa disana pernah wujudnya Sumpah
Palapa itu. Kecuali sebuah sumpah murni Gajah Mada: "Aku akan mengabdikan
seluruh sisa hidupku untuk negara dan tidak akan lagi mau terlibat dengan
pesta-pora sex!" Mungkin inilah sebenarnya "Sumpah Palapa" itu, bukan yang
mengatakan bahwa akan menyatukan seluruh wilayah Nusantra. Sumpah (Palapa)
Gajah Mada itupun terikrar, setelah perempuan muda simpanannya
"digeranyangi" oleh anak Raden Wijaya: Kerta Rajasa anak dari istri asal
Jambi?

Kita tidak perlu heran, terhadap tingkah-laku Prof Muhammad Yamin SH alias
Mpu Tantular itu, seperti tingkah-lakunya menggypsum wajahnya sendiri,
tetapi kemudian dia pula mengatakan itulah wajah Patih Gajah Mada!

Kita tidak perlu heran tingkah-laku Prof Muhammad Yamin SH alias Mpu
Tantular, karena dia dan Prof Soepomo yang menciptakan Pancasila, tetapi
kemudian trade mark-nya, menjadi kepunyaan Soekarno si Penipu Licik.

Sama halnya kita tidak perlu heran, jika si Permadi dari PDI-P, anggota
Komisi I DPR-Penjajah Indonesia Jawa, seperti suatu kejadian ketika Kolonel
Sarwo Edhi (Bapak mertua si Susilo Bambang Yudhoyono) menenteng kepala Dipo
Negoro Aidit ke Istana Merdeka untuk diserahkan kepada Suharto Kleptokracy,
dengan sukacitanya dia mengatakan dirinya kepada Sarwo Eddi, bahwa dia bukan
PNI-ASU tetapi PNI Osa-Osep!

Permadi dari PDI-P, anggota Komisi I DPR-Penjajah Indonesia Jawa, kamu telah
diingatkan oleh Ustadz Ahmad Sudirman bahwa Acheh itu bukan kepunyaan
Mbahmu, tetapi Acheh itu adalah kepunyaan bangsa Acheh, warisan dari nenek
moyangnya, yang telah pernah dipertahankan dalam Perang Acheh sejak
1873-1942, dengan pengorbanan melebihi 100.000 jiwa bangsa Acheh, yang ikut
disembelih oleh Jawa-Jawa pembunuh bayaran KNIL Belanda, atau oleh para
histotrian meyebutkannya sebagai The Black Dutchmen, si Belanda Hitam!

Adakah kamu Permadi dari PDI-P, anggota Komisi I DPR-Penjajah Indonesia
Jawa, pernah diberitahukan oleh Mbahmu, bahwa Mbahmu-Mbahmu adalah ex
anak-anak Jawa pembunuh bayaran KNIL Belanda atau si Belanda Hitam?

Sebaiknya kamu Permadi dari PDI-P anggota Komisi I DPR-Penjajah Indonesia
Jawa, kalau benar kamu adalah Permadi yang pernah diceritai oleh Kolonel
Sarwo Edhi, bahwa Soeharto Kleptokracy dengan ABRI-TNI/POLRI, Tentara
Teroris Nasional Penjajah Indonesia Jawanya atau si Belanda Hitam telah
membunuh lebih 3.000.000 (tiga juta) jiwa: Mereka-mereka buruh pabrik yang
tidak cukup makan dan buruh tani yang miskin yang tidak bersalah, sebagai
korban Peristiwa 1965 dan Pulau Buru, maka kamu wajib memberi sokongan penuh
di DPR-Penjajah Indonesia Jawa itu, dan kamu musti berjanji dengan sesungguh
hati dengan dibarengi konsekwensi tinggi serta tanpa tedeng aleng-aleng
untuk turut membantu langsung atau tidak langsung perkara gugatan dari
30.000.000 (tiga puluh juta) anggota keluarga-keluarga korban Peristiwa 1965
dan Pulau Buru untuk menggugat sampai tuntas: Suharto Kleptokracy, B.J.
Habibie, Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo
Bambang Yudhoyono agar bisa diseret ke Mahkamah Hak-Hak Azasi Manusia, di
Jakarta sesegera mungkin sebelum diseret ke Mahkamah Internasional atau
International Criminal Court of Justice di Den Haag, Belanda!

Dan bukan kamu, sebagai Permadi dari PDI-P anggota Komisi I DPR-Penjajah
Indonesia Jawa, yang coba mempersoalkan Wilayah Kedaulatan Negara Acheh
Sumatra!

(bersambung: Plus I + Acheh Tidak Mempunyai Hubungan Sejarah Ketatanegaraan
Dengan Indonesia Jawa)

Wassalam

Omar Puteh

om_puteh@...
om_puteh@...
Norway
----------

_________________________________________________________________
Hitta rätt på nätet med MSN Sök http://search.msn.se/





Sat Mar 19, 2005 5:52 am

Show Message Info
#9508 of 19854
Msg List
View Source
Use Fixed Width Font
Unwrap Lines
"Ahmad Sudirman"
hakim54se
Offline Offline
Send Email Send Email

< Prev Message | Next Message >
Expand Messages Author Sort by Date
OMAR PUTEH: ACHEH TIDAK PERNAH MEMPUNYAI HUBUNGAN SEJARAH KETATANEGA
http://www.dataphone.se/~ahmad ahmad@... www.ahmad-sudirman.com Stavanger, 19 Maret 2005 Bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalamu'alaikum wr wbr. ACHEH... Ahmad Sudirman
hakim54se
Offline Send Email Mar 19, 2005
5:52 am

Sejarah Majapahit Perlu Dikaji Ulang

Kebangsaan: Sejarah Majapahit Perlu Dikaji Ulang
Medan, Kompas - Beberapa bagian dalam sejarah Majapahit perlu dikaji ulang karena diduga tidak sesuai fakta. Pembacaan ulang sumber-sumber yang ada memberikan informasi adanya kesilapan dalam penggalian sumber-sumber sejarah Majapahit. Kepentingan politik diduga menjadi penyebab munculnya kesilapan itu.

Pengajar pada Universitas Hawaii, Prof Uli Kozok, dalam ceramah berjudul ”Meruntuhkan Mitos Adityawarman: Tokoh Penting dalam Sejarah Jawa-Sumatera” di Universitas Negeri Medan di Medan, Selasa (9/3), mengatakan, berdasarkan pembacaan ulang sumber-sumber primer dari sejumlah prasasti dan beberapa kitab, sebaiknya beberapa bagian dari sejarah Majapahit dikaji ulang. Prasasti dan kitab yang menjadi acuan tersebut, antara lain kitab Pararaton, kitab Negarakertagama, dan prasasti pada arca Amoghapasa.

”Parameter-parameter yang digunakan dalam sejarah Majapahit selama ini adalah perspektif dari sejarah nasional kemudian digunakan untuk menyusun sejarah lokal. Seharusnya, dari sejarah lokal kemudian muncul sejarah nasional. Hal ini demi sejarah Indonesia yang obyektif,” kata Kozok.

Dalam kaitan Majapahit itu, Kozok memperlihatkan, dari pembacaan ulang yang dilakukannya diketahui bahwa Adityawarman adalah putra Minang yang lahir dan besar di Minang. Baru pada usia dewasa pergi ke Majapahit dan menjadi pejabat, yaitu menteri tua, di kerajaan itu. Pengangkatan ini lebih berkaitan dengan persahabatan Melayu dan Majapahit.

Berbeda

Hasil penelitian ini berbeda dengan teks-teks yang ada dalam sejarah Indonesia yang menyebutkan, Adityawarman adalah kelahiran Jawa yang merupakan saudara sepupu Jayanagara.

Dari hasil penelitian juga diketahui, Adityawarwan hanya sebatas menjabat sebagai menteri tua. Hal ini berbeda dengan teks sejarah selama ini yang menyebutkan Adityawarman pernah menjadi duta besar Majapahit untuk China. Dalam teks yang ada juga disebutkan bahwa Adityawarman pernah memimpin ekspedisi untuk menaklukkan wilayah Sumatera bagian utara. Berdasarkan hasil penelitian, Adityawarman tidak pernah memimpin ekspedisi itu.

Kozok menyebutkan, dalam teks-teks yang ada menyebutkan bahwa wilayah Sumatera adalah wilayah bawahan Majapahit. Namun, dari penelitian diketahui bahwa Adityawarman tidak pernah terlibat dalam penaklukan beberapa wilayah di Sumatera bagian utara.

”Hubungan Majapahit dengan Melayu bukan daerah taklukan, melainkan dua daerah yang sama derajatnya,” kata Kozok. Ia mengatakan, dengan demikian maka sebenarnya pada waktu itu ada kekuatan tersendiri di wilayah Sumatera.

Memang dalam masa berikutnya Adityawarman diketahui menjadi penerus kerajaan Melayu di Dharmasraya dan sebuah kerajaan di Pagaruyung. Hal ini diketahui dari peninggalan patung bhairawa di Dharmasraya dan prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar Pagaruyung yang menyebut nama Adityawarman sebagai raja.

Kozok mengatakan, ada titik awal untuk mengkaji ulang sejarah Majapahit yang berkaitan dengan Sumatera.

Mengenai kemungkinan perubahan teks-teks sejarah yang sudah ada, Kozok menyebutkan, beberapa hasil interpretasi baru kadang tidak bisa diterima oleh sejumlah kalangan. (MAR)

Sumnber: Lampung Post, Rabu, 10 Maret 2010

Hikayat Datu Banua Lima (Hujung Tanah)

Hikayat Datu Banua Lima (Ringkasan) Reff. Adum M. Sahriadi

Oleh: Datu Panglima Alai_Admin FB Group Bubuhan Kulaan Urang Alai Borneo
(Cerita ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)

Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).

Semantara sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.

Kerajaan Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima. Yang Partama bergelar Panglima Alai, yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang Kedua, Panglima Tabalong, orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Yang Katiga, Panglima Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu, sedangkan yang keampat dan kelima si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini orangnya cepat emosian, keras kepala, dan suka berkelahi. Kelimanya bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kapala suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara. Ada mata-mata Majapahit yang berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan tadi, didapatlah informasi bahwa kedua kerajaan tersebut sangat makmur. Istananya saja berlapis emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai.

Pada Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sakitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja Tanjungpuri dikirim lima orang Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai. Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri. Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara manaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat tak terkira. Banyak tentara Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima atau banyak juga yang dilemparkan ke tubuh musuh yang berani mendekat. Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pangawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit. Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para pendekar Majapahit. Banyak sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan orang-orang bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan Senopati Arya Manggala penggal kepalanya terkena Mandau terbang “Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan Nan Sarunai yang terkenal sakti. Sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.

Di Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus sebagai hadiah dari Sri Baginda Darmapala. Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong), Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).

Ada kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orang Alai kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima Tabalong dan Panglima Balangan yang mengetahui soal cinta sagi empat di antara saudaranya tersebut lebih memilih netral, tidak memihak ke mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat hal tersebut akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan persaudaraan mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh Ganal’ di daerah pahuluan sana.

Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.

Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat perpindahan kekuasaan dari Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak kembali mendapat tempat di kerajaan).

Mendengar hal tersabut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh karena masih menghormati Putri Junjung Buih sabagai cucu Sri Baginda Darmapala, kalima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima ini tidak pernah muncul lagi baik di dunia politik maupun di dunia parsilatan. Mereka masing-masing mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus. Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran ke-10 mengikuti para Datu Banua lima. Tempat berkumpulnya para kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.

Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).

Tamat